Zero Illiteracy : Gerakan Berantas Buta Baca, Wujudkan Merdeka Belajar
Oleh: Koko Triantoro
survei berdasarkan hasil nilai literasi ANBK 2022 SDN Embacang Lama masih predikat merah, yakni pada posisi 40 %. Rendahnya hasil literasi ANBK salah satunya adalah kesadaran minat baca siswa rendah serta lemah dalam sintesis isi bacaan. Data lain berdasarkan assesment kemampuan baca, terdapat 30 orang siswa pada kelas tinggi yang kemampuan baca belum mencapai pada tingkat pemahaman atau grade B. Penulis tergerak untuk mencari solusi pemecahan masalah literasi di sekolah, merubah mindset bersama bahwa persoalan literasi harus dipecahkan secara team work, bukan lagi menjadi pekerjaan rumah yang dibebankan kepada masing-masing wali kelas. Ide awal yang penulis Kembangkan adalah berbasis masalah, yakni menjadikan problem sebagai sebuah tantangan yang harus diselesaikan. Kemudian mengkaji literatur, tahapan selanjutnya adalah merencanakan program, observasi, action dan evaluasi. Program yang digunakan dalam menurunkan angka buta baca adalah zero illiteracy. Zero illiteracy adalah kata serapan bahasa inggris yang kemudian diartikan sebagai nol buta baca, dalam konteks bahasan studi ilmiah ini diartikan sebagai gerakan berantas buta baca. Secara spesifik asal istilah zero illiteracy ini dibuat oleh penulis sebagai sebutan nama program. Zero illiteracy diartikan sebagai tingkatan kecakapan atau kemampuan membaca yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Tahapan grading dalam program zero illiteracy ini terdapat empat tahapan atau grading yakni ; Grade A, Grade B, Grade C dan Grade D.
Program zero illiteracy ini penulis kembangan sejak pelaksanaan kick off pada bulan agustus tahun 2022, sebelum penulis diangkat sebagai kepala sekolah.

Kick Off program Zero Illiteracy Bersama Kepala Dinas Pendidikan
Kami mengajak kepada seluruh dewan guru, staf, kepala sekolah dan disaksikan oleh Kepala Dinas Pendidikan untuk menandatangai komitmen bersama. Kurang lebih selama dua tahun program zero illiteracy diterapkan di sekolah SDN Embacang Lama. Dampak perubahan yang dirasakan sangat masif, terutama pada psikologis siswa, dimana sebelum ada program zero illiteracy siswa yang tidak bisa membaca merasa termarginalkan karena memperoleh perlakuan lain dengan siswa yang sudah bisa membaca dengan baik. Sebagai contoh perlakukan yang membuat siswa tertekan adalah “perampasan’’ jam istirahat yang dimanfaatkan oleh guru (wali kelas) untuk membimbing siswa dalam belajar membaca. Penulis sangat tidak setuju dengan kebijakan yang menggunakan jam istirahat siswa untuk membimbing beberapa siswa yang tidak bisa membaca, karena otak memiliki batas kemampuan untuk berfikir konsentrasi dan membutuhkan jeda untuk refresh.
Beberapa kelebihan program zero illiteracy adalah modul bacaan dan buku pembaca pemula disusun oleh penulis, adanya unsur homogen dan heterogen. Homogen dalam aspek kemampuan membaca dan heterogen dalam aspek tingkatan kelas. Siswa akan dikelompokan berdasarkan kemapuan jenjang baca yang artinya siswa pada jenjang kelas tinggi akan memungkinkan bertemu dengan siswa jenjang kelas rendah (sesuai kemampuan membaca). Program zero illiteracy sangat terasa kental semangat kolaborasi dan kebersamaan karena pada pelaksanaan program ini semua guru dan staf terlibat sebagai mentor baca, menjadikan sebuah persoalan besar “buta baca” yang akan menjadi target utama untuk diselesaikan bersama oleh seluruh steakholder.
Penulis memiliki Impian program zero illiteracy ini dapat digeneralisasi di sekolah-sekolah wilayah Kabupaten Musi Rawas Utara, khususnya sekolah yang memiliki persolaan yang sama. Program zero illiteracy ini sudah melalui beberapa tahap uji coba baik di internal sekolah maupun sekolah lain yang menerapkan dan menunjukan hasil yang cukup signifikan dalam meningkatkan kesadaran literasi siswa. Penulis sudah melibatkan para pengawas sekolah untuk membantu mensosialisasikan program zero illiteracy ini kepada sekolah-sekolah binaannya. Sampai tahap saat ini sudah tiga kecamatan dan total 25 sekolah di Kabupaten Musi Rawas Utara menerima materi workshop zero illiteracy. Kedepan penulis memiliki keingingan untuk menguji program zero illiteracy kepada pakar Pendidikan meminta masukan dan menyempurkan kekurangan sehinga nantinya dapat secara serentak diterapkan di sekolah-sekolah, dengan diterbitkan surat edaran Dinas Pendidikan Muri Rawas Utara. Penulis akan menyempurnakan modul zero illiteracy, sehingga terbentuk silabus / kurikulum baku zero illiteracy, dengan demikian guru atau sekolah yang akan menerapkan zero illiteracy, akan semakin mudah memberikan treatment kepada siswa karena sudah jelas dan detail terdapat pada panduan kurikulum zero illiteracy.
Tiga sekolah di wilayah Kabupaten Musi Rawas Utara sudah menjalankan program zero illiteracy, secara hasil dalam bentuk data akan dilihat pada fase I (tiga bulan) kedepan, akan tetapi evaluasi saat wawancara dengan koordinator program dan kepala sekolah, kesan yang diberikan cukup positif, semakin mudah membuat vibe kekompakan guru dan terasa nauansa budaya literasi. Dari sisi kemampuan membaca siswa secara kasat terlihat meningkat. Tiga sekolah yang sudah aktif menerapkan zero illiteracy yakni, SDN Karang Waru Kecamatan Rupit, SDN 2 Embacang Baru Kecamatan Karang Jaya dan SDN 1 Karang jaya. Penulis akan memperdalam kerjasama dengan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan Musi Rawas Utara untuk diterapkan ke sekolah di wilayah Kabupaten Musi Rawas Utara, dengan alasan kuat bahwa sampai saat ini belum ada strategi khusus yang digunakan Dinas Pendidikan dalam hal memeberantas buta membaca.
Program yang baik seyogyanya diimbaskan lebih luas. Pengimbasan yang berdampak luas tentu membutuhkan anggaran, penulis telah mencoba berkolaborasi kepada NGO Lembaga non-profit untuk mendukung pelaksanaan zero illiteracy khususnya di sekolah-sekolah pedalaman. Penulis, selain sebagai kepala sekolah juga aktif dalam kegiatan sosial, sejak tahun 2017 penulis juga konsen dalam membangun Pendidikan pedalaman khususnya dengan mendatangkan bantuan dari donatur, beberapa program yang sudah terealisasi adalah bantuan tujuh jembatan gantung untuk memudahkan akses ke sekolah dan perekonomian warga di musi rawas utara, perahu Pendidikan untuk anak sekolah di Kabupaten kepulauan riau, Kabupaten sintang, Kalimantan Tengah dan Musi Rawas Utara. Pengimbasan zero illiteracy yang di laksanakan di kecamatan karang jaya pada tanggal 21 oktober adalah salah satu pengimbasan yang mendapatkan hibah dana dari yayasan sahabat pedalaman. Saat ini juga penulis sedang tahapan pengajuan proposal kepada Global Partnership for Education (GPE) dengan tema program Kolaborasi untuk Edukasi Anak Indonesia (KREASI) dengan sasaran wilayah Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Pulau Morotai, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Pesisir Barat.
Program zero illiteracy selarah dengan program nawacita yaitu membangaun dari pinggiran. Membangun bukan hanya sekedar infrastruktur, akan tetapi lebih fundamental adalam membangun SDM. Utamanya adalah daerah terpencil yang sering dijumpai siswa tidak bisa membaca, di situlah program zero illiteracy hadir untuk mendukung program pemerintah jug, yakni ANBK. Jika nilai ANBK bagus otomatis akan mendapatkan bantuan dana BOS Kinerja sehingga sekolah akan lebih masif lagi dalam menggalakan program untuk peningkatan kompetensi guru yang mendukung kualitas pembelajaran kepada murid.
Publikasi program juga sangat penting untuk diketahui khalayak umum. Beberapa tahapan publikasi sudah penulis lakukan mulai dari media sosial, youtube, facebook, berita online dan media cetak lokal. Publikasi yang sifatnya pelatihan juga dilakukan penulis seperti yang dilakukan terakhir ini adalah memenuhi undangan gugus I guru-guru di kecamatan Cikampek untuk penjelasan program zero illiteracy. Karya ilmiah secara lengkap tentang zero illiteracy dapat di unduh pada link berikut ini

Pengimbasan Zero Illiteray di kecamatan Karang Jaya
